<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

https://aslisunda.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Tampolong: Mei 2009

Minggu, 17 Mei 2009

Test Kecepatan Blog

Tes Berat Blog dan Kecepatan Loading - Belajar Ngeblog: "http://www.iwebtool.com/speed_test"

Label:

Test Kecepatan dan Berat Blog

Yosep Lesmana
Setelah beberapa kali membuka blog, kenapa ya suka ada element yang hilang, kadang shoutmixnya ilang, apalagi ketika koneksi internetnya lagi lemot, kebetulan saya pake Modem SMART yang 6 bulan gratis, jadi ya harus agak sabar dalam buka-bukaan blog. Setelah saya cari tahu kenapa? Ternyata agak berat memang. Saya pun menemukian sebuah artikel di sebuah BLOG, yang sangat bagus. Saya coba untuk nge-test berapa berat blog saya dan seberapa detik kecepatan yang dibutuhkan untuk membuka blog saya, ternyata hasilnya sebagai berikut :
1. Tes Kecepatan = 00.00.09.546 itu setelah terbuka, tapi apabila dibuka pertama kali kecepatannya sebagai berikut = 00.00.41.000
2. Tes Berat Blog = 90.41 KB0.21 seconds
Ini situs buat sahabat yang mau nge-test,
1. Tes berapa dibutuhkan waktu untuk membuka
http://www.numion.com/Stopwatch/index.html?
2. Tes untuk menguji berapa second blog sahabat dapat terbuka http://www.iwebtool.com/speed_test
Nah, tes kecepatan ini saya temukan di sebuah Blog sahabat saya. Maklum saya masih pemula jadi bisanya hanya nyari posting orang dan mencobanya. Anda tertarik? Artikel aslinya ada di SINI. Mudah-mudahan bermanfaat. Mungkin sahabat blogger ada yang tahu cara nge-test yang lain, silahkan di share disini.

Label:

Cara mempertahankan Pagerank

Yosep Lesmana
Dalam dunia Blog terkadang banyak sekali hal-hal kecil yang sering dilewatkan. Tetapi bagi para Pemula seperti saya nge-blog hanya sebatas untuk menumpahkan unek-unek dalam kepala, atau sekadar iseng. Ada banyak hal yang bias menaikkan ranking blog kita, dengan cara update, atau nge add url kita di Google. Ada sebuah artikel yang say abaca di sebuah blog tentang cara mempertahankan pagerank blog kita, yang saya rasa itu sebuah informasi yang sangat membantu, blog tersebut memuat trick dan cheat-cheat bagaimana caranya nge-blog yang baik, salah satu yang menurut saya paling menarik adalah cara mempertahankan page rank kita. Walaupun blog saya ini terbilang masih belum dewasa, mungkin kalo dibilang seumur jagung mungkin lebih muda Blog saya ini, Blog yang saya kutip adalah : http://kisaranku.blogspot.com/ mungkin tipsnya seperti ini.
Kalau kita perhatikan di blog kita, kita bisa saja punya banyak link iklan, affilasi, socialbookmark, atau situs besar seperti yahoo, google. Untuk memperthankan PR, keberadaan semua link di atas tadi sebenarnya tidak perlu di index di mesin pencarian.Supaya jumlah outbond link kita jangan kebanyakkan dan tidak akan menjatuhkan PR kita. Solusinya yaitu menggunakan rel=nofollow. Dengan memakai rel=nofollow, semua situs diatas tidak akan diberi kredit pd mesin pencarian dan menghemat jumlah link yang keluar.

Contoh meng 'rel=nofollow' kan google dan yahoo

Google

Yahoo

Contoh meng 'rel=nofollow' kan link banner yang pakai button, button social bookmark, dan button rss feed juga.

Jaringan Iklan Online

Nah mudah kan? Mungkin ada pendapat yang lain dari anda yang bias membantu. Selamat mencoba.

Label:

CARA MENULIS

Abdullah Alawi

1. Mulai dari yang dekat. Menulislah dari yang paling dekat dengan kita, yang kita senangi, yang paling kita kuasai materinya. Kita pasti pernah mengalami konflik dengan orang tua, kekasih, teman, atau siapa saja. Awalilah harimu dengan menulis.

2. Penulis harus peka. Kepekaan bahasa, mencakup tulisan, paragraf, kalimat, arti kata-kata, kepekaan pada suatuperistiwa. Orang yang biasa menulis selalu akan tergelitik dengan apa-apa yang terjadi pada dirinya, dan sekitarnya. Hamsad Rangkuti yang melihat anak-anak yang disunat, timbullah cerpen “Panggilan Rasul”. Menulis harus terus diasah dan dibiasakan.

3. banyak baca. Membaca adalah tenaga dalam untuk menulis.

4. Tulis ulang: jangan pernah merasa puas dengan hasil yang dicapai dan juga jangan putus asa. Itu bisa menghalangi kita menjadi penulis. Bacalah kembali berkali-kali, ajaklah teman atau siapa pun untuk mengomentarinya. Tulis ulang! Dengan cara dan gaya yang berbeda. Misalnya kisah dongeng, kita ganti dengan sudut pandang akuan. Atau diganti dengan alur kilas balik dengan menggunakan sedikit dialog.

5. Copy Master; di Cina, orang yang mau melukis dia disodori lukisan yang bagus. Orang yang belajar melukis disuruh terus-terusan untuk meniru lukisan tsb hingga bisa. Begtulah seterusnya hingga dia menjadi pelukis yang mandiri dengan gaya tersendiri

6. Proses kreatif: kita dapat mengambil contoh misalnya adalah proses kreatif Hamsad rangkuti, seperti diakuinya sendiri dia adalah seorang pengelamun yang berat. Dia sering naik pada sebuah pohon, dan di sanalah dia berimajinasi. Ketika dia melihat orang dalam pesta sunat, lahirlah cerpen “Panggilan Rasul”. Ketika dia melihat patung pada sebuah tugu, lahirlah cerpen “Dia mulai Memanjat”. Utuy Tatang Sontani, menjadi cerpenis karena dia ditolak oleh seorang perempuan. Kirdjomulya, penyair, untuk mencari inspirasi dia menjadi seorang gali. Dosteyevski dia terpaksa mengarang “Kejahatan dan Hukuman” karena dia dililit utang. Saya sendiri adalah orang yang sering didongengi oleh bibi

Tubuh Cerpen

Alur; kejadian, tokoh, konflik: ketiganya adalah unsur pokok dalam sebuah cerita. Jalinan ketiganya disebut alur.
Latar, setiap cerita tidak ada yang berada dalam ruang yang vacuum. Alur biasanya mempunyai latar waktu dan tempat. Selain itu, bisa juga ditambahkan dengan latar sosial, latar budaya, ekonomi, politik dsb. Kecuali dalam cerita surealis. Warna lokal juga bisa dimasukan.
Kecuali dalam cerita surealisme atau absurdisme. Misalnya adam makripat danarto, megatruh, dll.
Posisi narator; biasanya disebut sudut pandang. Ada sudut pandang akuan (orang pertama), sudut pandang diaan (orang ketiga), atau sudut pandang campuran (tokoh dan pengarang sesekali menjadi narator)
Dialog: adalah percakapan dalam sebuah narasi. Dari dialog kita bisa menemukan ciri-ciri seorang tokoh. Penggunaan dialog tergantung kemauan si penulis. Ada cerpen yang sama sekali tidak menggunakan dialog
Pola narasi: ada yang mengatakan awal, tengah, akhir. Gaya kilas balik, flash back, maju mundur. Cerpen KOHSU. Saya pernah ngobrol dengan seorang teman yang mengatakan penulis-penulis terkenal sekarang kalau dilihat dari segi ide sudah tidak ada yang baru, tetapi mereka mengemasnya dalam sebuah gaya yang kokoh.
Tanda baca: bagaimana menggunakan tanda koma, titik, titik dua, tanda petik. Anda bisa mempelajarinya dalam tatabahasa indonesia EYD. Tetapi dalam penulisan karya saatra banyak kewenangan yang bisa dilakukan. Kalimat tak lengkap.
Transisi;untuk menjaga agar semua bagian tulisan menjadi logis dalam suatu kesatuan anatara sebelum da sesudahnya maka perlu apa yang dinamakan transisi. Contoh, dan, tetapi, kemudian, atau berupa frasa, sesudah itu, tak berapa kemudian, walaupun demikian, dsb. Trnsisi berarti peralihan dari suatu kerja, keadaan, hal atau pokok pembicaraan yang lain.
Diksi.

Yang Perlu Dihindari

Pengulangan: jangan sekali-kali melakukanpengulangan yang tidak perlu karena itu bisa jadi mencederai tulisan kita. Kecuali kalau kita mengolahnya dengan apik akan menghasilkan tulisan yang menarik dan unik. Adam Makrifat Danarto.


Anakronisme latar waktu dan tempat. Latar waktu, saya lahir tahun 80-an di sebuah desa di kaki gunung Bongkok. Setiap pagi matahari menyembul dari balik gunung itu. Pada tahun itu juga saya mendengar ada gerakan G 30 S/PKI. Latar tempat. Saya tinggal di sebuah desa terpencil dekat pantai selatan pulau Jawa. Tempatku dekat dengan petilasan Nyi Roro Kidul. Setiap pagi saya melihat monas.

Label:

Selasa, 05 Mei 2009

Santri dan Wayang Golek

Yosep Lesmana*
Sebuah polemik yang terjadi di dalam kehidupan kita terkadang tidak terlihat. Seperti hubungan antara santri dan Wayang Golek. Mungkin apabila ditarik benang merah antara kehidupan santri dengan kehidupan manusia, khususnya Santri itu sangat berhubungan. Tetapi sering terjadi konflik dan kontroversi antara ke-halalan dan haramnya menonton atau mendengar wayang golek, mungkin saya tidak akan membahas masalah itu. Yang akan dibahas disini adalah kenapa Santri cenderung tertarik dengan Wayang Golek. Bahkan banyak yang sudah menduduki kedudukan sebagai Ustadz atau Kiyai yang dulunya sebagai santri (Salaf), bahkan ada yang benci tapi rindu dengan Wayang Golek. Bahkan banyak keterangan dan penjelasan yang tidak didapat dari penjelasan secara harfiah dan maknawiah di pesantren tetapi dibahas dan dijelaskan di Wayang golek, menurut penuturan seorang Santri.
1. Wayang Golek
Mungkin kita akan sedikit menggali tentang sejarah wayang golek, dan apa itu wayang golek.
Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.
Dalam catatan sejarah kemunculan wayang golek semasa Kerajaan Pajajaran ada dua fungsi yaitu
1. untuk upacara ritual yaitu untuk ruwatan
2. untuk hiburan
Wayang golek untuk ruwatan dipakai pada ruwatan rumah, anak, nanggung bugang ( seorang adik yang kakaknya meninggal dunia ), surambi ( 4 orang putra), pandawa lima ( 5 putra ), pandawi ( 5 putri ), talaga tanggal kausak ( seorang putra diapit 2 putri ) samudra hapit sindang ( seorang putri diapit 2 putra ) yang sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat yang mempercayainya.
Wayang Golek untuk hiburan dipergunakan untuk upacara dan perayaan khusus seperti khitanan, perkawinan, perayaan karawitan , hari jadi , hari-hari besar dan penyambutan tamu- tamu negara. wayang golek yang dikenal kita dalah wayang golek purwa , wayangnya terbuat dari kayu menyerupai bentuk manusia yang disebut golek oleh karna itu disebut wayang golek. Ada 2 macam wayang golek di tatar Sunda : wayang golek papak( cepak ) / wayang golek menak dan wayang golek purwa . wayang golek adalah bentuk teater rakyat yang sangat populer di masyarakat . lakon- lakon wayang golek memiliki lakon galur dan carangan yang semuanya bersumber dari cerita ramayana dan Mahabrata. Pembawa cerita disebut Dalang sekaligus pemimpin pertunjukan menyuarakan anatwacana , mengatur gamelan, mengatur lagu dll. wayang golek purwa memakai bahasa Sunda , karawitan pengiringnya berlaras salendro yang terdiri dari waditra dua saron , satu peking, satu salentem, satu bonang, satu rincik, satu perangkat kenong, sepasang goong * kempul goong ) dan seperangkat kendang ( satu indung 3 kulanter ) , gambang, rebab, wira suara ( juru alok ), sinden . Kemunculan sinden dalam wayang golek sekitar tahun1920an pada sekitar tahun 1960an yang terkenal diantaranya adalah Upit sarimanah, Titom Patimah sedangkan dalang yang terkenal diantaranya : R.U . Partasuanda, Abah sunarya, Entah Tiryana, Apek Tarkim, Asep Sunandar Sunarya, ade Kosasih, Dede Amung, Cecep Supriyadi dll. Pertunjukan Wayang golek biasanya ditempat terbuka dengan memakai panggung yang ditinggikan ( balandongan ) sehingga penonton dapat melihat satu arah dan berkonsentrasi pada pertunjukannya.
2. Santri
Entah siapa yang mengatakan, bahwa kata santri berasal dari bahasa Inggris. Yaitu sun dan there, yang berarti tiga matahari. Saya belum pernah mendengar seseorang yang memaknai kata itu secara eksplisit. Namun, saya berpikir, bahwa mungkin yang disebut tiga matahari tiada lain adalah rukun agama, dimana tiga unsur itu wajib dimiliki oleh setiap umat Islam. Tiga rukun itu yaitu, Iman, Islam dan Ihsan. Dalam hal ini, saya mengindikasikan bahwa seorang santri pantas dan seharusnya memiliki tiga rukun iman tersebut dan terpatri di dalam dirinya.
Dengan demikian, kewajiban identitas santri adalah seorang yang memiliki keimanan yang kuat, dan hidupnya seiring dengan ajaran Islam serta mengindahkannya. Kemudian, dari keduanya jika telah terpatri dalam diri santri maka akan melahirkan sikap dan perilaku yang baik (Ihsan). Tentu sudah menjadi kewajiban moral bagi seorang santri hidup dengan ke’arifan Islam sebagai cerminan dari keimannya.
Setiap santri adalah muslim, namun tidak semua muslim dikatakan santri. Pembahasan tentang muslim—orang yang sudah masuk Islam—terlalu luas jika diidentikan dengan santri. Karena, hukum sosial telah menyudutkan pengertian santri sebagai orang yang mengaji dipesantren atau rajin mengaji dimasjid. Kalaupun ada celetusan yang mengatakan bahwa setiap muslim adalah santri, itu syah-syah saja dalam segi konteks. Namun, secara tekstual pengertian santri adalah orang-orang yang mengaji atau belajar ilmu agama pada sebuah lembaga pendidikan Islam—pesantren, baik tradisional ataupun modern. Kendati demikian, rupanya fleksiblitas pesantren mengikuti arus modernisasi tidak bisa dihindarkan, realitas objektif menunjukan adanya transformasi pesantren dari corak pesantren klasik (salafiyah) menjadi corak pesantren modern. Sehinngga orientasipun berubah, ada santri abangan yang mengaji di pesantren salafiyah dan santri intelek yang mengaji di pesantren modern.
Dalam konteks itu, apapun istilah santri entah itu abangan atau intelek yang pasti keduanya mempunyai sisi identik, yaitu dakwah. Dakwah bagi seorang santri merupakan kewajiban moral, sebagai identitas dari kekhasanya. Di zaman sekarang, seorang santri tidak diindikasikan sebagai orang yang selalu memakai kopiah, pakaian muslim lengkap dengan sarung, leher dililit oleh sorban atau lain sebagainnya. Sebab, jika dilihat dari sisi itu, maka santri modern mayoritas sulit dibedakan dengan masyarakat nonsantri. Dengan demikian, cirri khas santri di era modern sejatinya dengan retorika berdakwah. Apapun tema yang disampaikan santri dalam orasinya yang pasti esensinya harus berbau nilai-nilai religi.
Jika kewajiban moral santri berdakwah, maka kewajiban lembaga pesantren terhadap santri harus bisa mengajarkannya retorika dakwah yang baik. Dengan demikian, identitas seorang santri tidak akan hilang. Santri modern lebih mengidentikan santrinya terhadap intelektualitas. Sedangkan santri abangan tidak mengenal intelektualitas, namun ciri khas retorika dakwahnya akan membahas esensi permasalahan dari satu titik sehingga dakwahnya rinci dan tajam. Berbeda dengan santri modern, ia akan menjabarkan suatu permasalahan dengan lebar, dibidik dari berbagai disiplin ilmu. Jadi, kendati mereka santri tetap saja dalam retorika dakwahynya bisa diindikasikan berbeda. Toh, kalaupun dari segi minoritas ada gaya berdakwahnya yang sesuai, gramatika misalnya.
Apabila dilihat secara gambaran diatas maka sangatlah jauh hubungannya. Bahkan sebagian orang mengatakan bahwa wayang golek itu Haram, saya mengutip dari sebuah perkataan seorang dalang kondang, “Jadi haram, apabila kau makan, pasti nyangkut di tenggorokan” begitu kata kang Asep Sunandar dalam sebuah pertunjukannya. Namun yang mengherankan justru penulis pun menyukai wayang golek itu semenjak masuk pesantren atau bisa dibilang ketika mulai menjadi santri.
Pada awalnya hanya sebatas ingin tahu si cepot yang katanya suka bercanda, namun lama-kelamaan justru malah jadi sebuah hobby. Bukan karena jenakanya si cepot, tetapi juga karena muatan-muatan penjelasan terhadap sebuah dalil. Para dalang mengupas habis dalil-dalil secara langsung penerapan terhadap kehidupan sehari-hari. Banyak sekali contohnya. Selain itu wayang golek salah satu media penyampai inspirasi dan keresahan rakyat. Mungkin karena alas an itu kenapa santri ada kaitannya dengan wayang golek.

Sumber :
- http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/wayang-golek-jawa-barat.html (Nisfiyanti, Yanti. 2005. “Wayang Media Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya pada Masyarakat Sunda” (Laporan Hasil Penelitian)
- http://bandungkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=328&Itemid=219
- http://cinta-syamsudin.blogspot.com/2008/11/santri-dan-dakwah.html

Label:

Domba Ketujuh

Oleh Abdullah Alawi*

Di tempat yang sama, dengan pakaian yang serupa, lautan manusia, dari berbagai suku bangsa bersatu memenuhi undangan-Nya. Dalam satu suara mereka melapal, Labaika Allahuma labaik. Angkasa dipenuhi gemuruh takbir yang merayap ke pangkuan-Nya. Dalam satu nafas, mereka berharap ridonya. Gema takbir, tahlil dan tahmid berhamburan mengagungkan asma-Nya, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd. Mereka mengelilingi baitullah. Berhaji. Mereka berharap mabrur.

Bagi mereka yang tdak berhaji, pagi harinya berbondong ke lapangan atau masjid-masjid menunaikan shalat Idul Adha. Tadi malam, bedug bertalu. Takbir membahana.

Hari itu dinamakan hari Tasyrik. Selama tiga hari setelahnya diharamkan puasa apa pun. Bagi orang yamg mampu disunahkan untuk berkurban dengan menyembelih domba, kerbau, sapi, atau sejenisnya. Hari itu banyak berceceran darah binatang di mana-mana. Tanah basah dengan darah. Konon, ritual qurban berasal sari usaha penyembelihan Ibrahim pada Ismail untuk memenuhi janjinya pada Tuhan. Tapi gagal. Kemudian Jibril datang membawa domba dari surga.

Pagi itu di sebuah kampung ada acara penyembelihan hewan qurban. Tujuh ekor domba jantan yang bagus dan seekor kerbau gemuk yang diserahkan beberapa orang kaya pada DKM untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.

Kira-kira pukul 08.30, setelah shalat Ied, orang-orang berkumpul di halaman masjid yang lapang. Matahari bersinar dengan teriknya. Langit biru cerah tak terhalang awan sedikit pun. Beberapa ekor burung melayang rendah di udara. Angin cuma sepoi-sepoi saja. Anak-anak sudah ramai. Pakaian mereka bagus-bagus. Mereka menikmati suasana itu. Mereka bermain sesukanya. Tawa bahagia berderai. Mereka ingin menyaksikan darah yang mengalir deras dari tenggorokan, kemudian menyentuh bumi. Para orang tua banyak juga yang telah datang. Mereka membawa alat seadanya untuk membantu penyembelihan. Mereka telah siap menyaksikan darah yang akan mengalir dari tenggorokan kemudian mencium bumi, lalu ada tubuh yang bergelinjangan sekarat meregang nyawa. Ibu-ibu dengan masih memakai pakaian lebarannya juga telah hadir sambil tak henti-hentinya ngobrol soal apa saja. Anak-anak gadis membentuk kelompok sendiri. Mereka ngobrol soal yang berbeda. Mereka sudah siap melihat darah yang mengalir deras mencium bumi.

Sementara yang akan disembelih seperti tidak tahu-menahu kejadian apa yang akan menimpanya. Kerbau itu tenang-tenang saja memakan rumput hijau yang diletakkan di atas karung. Dia tidak tahu darahnya akan dialirkan hari ini, kemudian sekarat, kemudian dikuliti, kemudian dicincang, kemudian diiris, disate, disemur, dan apa pun namanya. Dia tidak tahu-menahu sama sekali. Dia tidak tahu ini adalah hari terakhirnya. Cuma dia mungkin merasa asing karena ada makhluk lain yang ramai-ramai di sekelilingnya. Tujuh ekor domba juga sama seperti itu. Mereka tidak tahu-menahu darahnya akan dialirkan hari ini ke perut bumi. Mereka hanya memakan rumput liar di halaman masjid itu. Kadang-kadang ada yang berkeliling mengitari pancung berusaha melepaskan diri dari tambang yang mengikatnya. Tapi tambang itu begitu kuatnya. Ada juga yang digoda anak-anak, kemudian dia mundur mengambil ancang-angang hendak menanduk anak-anak tersebut. Mereka berhamburan sambil tertawa. Ada juga yang sedikit cemas takut tambang pengikatnya tiba-tiba saja putus.

Tidak berapa lama kemudian beberapa orang ahli penyembelihan mendekati kerbau yang asyik merumput. Dengan hati-hati sekali, mereka mampu menggulingkan kerbau tersebut hingga posisinya memudahkan untuk disembelih. Kerbau itu tak bisa berkutik karena tambang telah meringkusnya. Dia tak berdaya sama sekali. Semakin dia banyak bergerak semakin tambang itu meringkusnya. Tenaganya sia-sia belaka. Dia meraung mencoba hendak berdiri. Tanduknya dibanting-bantingkan sekenanya.

Seseorang maju ke depan. Rokok yang sudah hampir menjadi puntung dibuangnya. Dia mencabut golok dari sarungnya menantang cahaya matahari. Mata golok berkilauan. Rupanya dia sang penjagal. Dengan golok terhunus dia mendekati makhluk yang sudah tak berdaya itu. Seorang kiai siap memimpin doa. Si pemilik kerbau menyaksikan di belakangnya. Orang-orang yang menyaksikan melingkar agak jauh dari kerbau tersebut. Pandangan mereka terpusat pada leher kerbau. Tapi ada juga yang miris melihat penyembelihan itu. Tambang yang meringkus setiap kaki kerbau dipegang kuat-kuat oleh beberapa orang lelaki muda.

Penyembelihan dimulai setelah doa dibacakan. Golok itu melukai tenggorokan sang kerbau. Darah mengalir deras mencium lubang di bawahnya. Dari mulutnya keluar ngorok bercampur darah. Tubuh itu meregang melepas nyawa. Kakinya kejang-kejang beberapa lama. Napas terakhir habis. Kemudian sekarat, kemudian mati, kemudian dikuliti, kemudian dicincang, kemudian ditimbang, kemudian dibagikan. Kepala dan hatinya dipisahkan buat kiai. Pahanya buat ketua DKM. Pahanya yang satu lagi buat pak kades. Kulitnya buat bedug yang semalam bolong terus-terusan dipukul. Sisanya dibagikan buat mereka yang berhak menerima.

Domba-domba jantan itu pun tak jauh berbeda nasibnya dengan kerbau tersebut. Lehernya dipenggal. Darah mereka mengalir menciumi bumi. Kemudian dagingnya dibagi-bagikan. Kepalanya buat kiai kampung tetangga. Buat bapak kepala dusun. Buat bapak ketua RT, bapak pertahanan sipil, anggota DKM dan sesepuh kampung. Kakinya jadi rebutan. Kulitnya dijual kepada tengkulak kulit yang beberapa hari sebelumnya sudah memesan. Sebagian untuk dimasak waktu itu juga bagi yang bekerja membantu penyembelihan. Sisanya dibagikan buat mereka yang membutuhkan.

Matahari semakin meninggi. Siang semakin panas saja. Penyembelihan terakhir adalah domba ketujuh. Orang-orang sudah kelelahan. Orang-orang yang menyaksikan tidak sebanyak penyembelihan sebelumnya. Pak kiayi sudah pegal mulutnya menghembuskan doa-doa. Sang penjagal sudah gonta-ganti. Darah yang berceceran sudah mengental. Seseorang menuntun domba itu ke lubang penyembelihan bekas kawan-kawannya. Domba ketujuh itu tidak berontak sebagaimana domba sebelumnya. Dia pasrah. Ketika golok itu akan menggorok lehernya, setelah doa dibacakan, saat setiap pasang mata terpusat pada lehaernya, tiba-tiba dengan lantangnya domba ketujuh itu bicara,

“Sebentar, sebentar, sebelum golok ini menggorok leherku, sebelum darahku jatuh ke tanah, sebelum nyawa ini melayang, sebelum tubuh ini dikuliti, izinkan aku bicara dulu.”

Kontan saja sang penyembelih mundur beberapa langkah menabrak orang-orang yang ada di belakangnya. Orang-orang di belakangnya menabrak orang-orang di belakangnya pula. Orang-orang seragam dalam kekagetan. Orang yang memegang tali pengikat kaki domba itu kabur tunggang-langgang. Matanya terbelalak. Mulutnya ternganga. Tapi ada juga yang tetap diam terkena sihir. Tak bergerak seperti patung kedinginan.

Penyembelih itu terkesiap. Goloknya terlepas hampir mengenai kakinya. Wajahnya kehilangan darah. Dia hampir saja kabur kalau beberapa orang tidak menceghnya. Napasnya sengal-sengal seperti baru saja dikejar setan. Keringat sebesar biji-biji jagung keluar dari mukanya yang kehitaman.

Orang-orang yang menyaksikan penyembelihan itu mematung. Mereka seperti kena hipnotis. Mereka hampir tak percaya akan mata dan pendengarannya masing-masing. Untuk beberapa saat mereka diam. Kemudian mereka saling bertanya atas kejadian itu, dan kemudian mereka saling tidak tahu jawabannya. Di antara mereka ada yang mengusulkan untuk membatalkan pemyembelihan domba ketujuh.

“Bagaimana kiyai, apakah penyembelihan ini akan dilanjutkan?” Tanya seseorang di sampingnya yang merupakan ketua DKM.

Pertanyaan ketua DKM itu memecah keheningan kiayi. Dia mengusap keringat di wajahnya beberapa kali dengan sorbannya. Mulutnya mengucap istighfar. Tapi dia belum menjawab pertanyaan itu seolah tidak tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukan. Dia menghela napas dalam-dalam.

“Wahai manusia, kenapa kalian tampaknya keheranan mendengarku bicara? Tidak ada yang luar biasa bagi-Nya. Aku hanyalah seekor binatang yang sudah tak berdaya. Tak perlu diherani apalagi ditakuti. Kejadian ini biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Kalau mau disembelih, sembelihlah aku! Itu lebih baik bagiku. Tapi sebelum itu, izinkan aku bicara barang sebentar”, kata domba ketujuh dengan suara lantang dan jelas sehingga setiap telinga dapat mendengarnya.

Orang-orang masih diselimuti keheranan. Mereka hanya mematung. Tak bergeming. Orang yang tadi kabur pontang-panting datang kembali dengan orang yang ingin melihat penyembelihan itu. Orang-orang masih saja diam. Hanya kiayi yang bicara. Dia mencoba untuk tenang.

“Kalau kamu mau bicara, bicaralah! Kami bangsa manusia akan memberikan kesempatan bagimu. Kami siap mendengarnya.”

“Baik, baik,” kata domba ketujuh, kemudian berhenti sebentar. Tenggorokannya seperti tersedak. “Tapi tolong, tambang yang mengikat leherku dilonggarkan sedikit supaya aku leluasa bicara. Percayalah aku tidak akan kabur. Aku tidak akan ngamuk. Kematian adalah hal yang biasa saja,” katanya lagi.

Beberapa orang dengan sigap, ragu-ragu melonggarkan tambang pengikat leher domba ketujuh. Mereka sudah tidak canggung lagi sekarang.

“Begini, bangsa manusia,” kata domba tersebut sambil tetap dalam posisi untuk disembelih. Sementara tubuh dan keempat kakinya masih diringkus. “Sebelum napas terakhirku habis, nyawaku hilang melayang-layang, darahku mencium bumi, tubuhku dikuliti, dagingku dicincang diiris-iris kemudian kalian masak dengan berbagai macam cara dan selera. Aku rela. Aku ikhlas. Karena itu garis takdir yang dituliskan atas diriku. Tapi sebelum semua itu terjadi, aku punya satu permohonan.’’

“Jangan bertele-tele, wahai domba ketujuh. Kalau boleh tahu, apa permohonan terakhirmu itu? Kalau kami mampu, kami bisa mengabulkannya,” kata kiyai itu mulai agak akrab. Orang-orang yang menyaksikan pun keheranannya sedikit mencair. Mereka memasang mata dan telinga masing-masing seolah tidak ingin terlewatkan satu huruf pun atas kata-kata domba ketujuh.

“Begini bangsa manusia, sudah kukatakan bahwa aku ikhlas seikhlas-ikhlasnya jika aku dijadikan qurban. Aku rela leherku disembelih, darahku mambasahi bumi, tubuhku dikuliti, dagingku dicincang, aku tidak akan menangis, keluargaku pun tidak akan bersedih karena itu tidak akan berlaku dalam duniaku. Anak-anakku pun tidak akan melakukan balas dendam karena kami tak mengenal itu.”

“Lantas apa maumu?”

“Tapi aku dan kawan-kawanku tak rela sama sekali. Tak rela.”

“Kamu tak mau disembelih?” tanya kiayi. “Kalau itu maumu, kami bisa mempertimbangkannya.” Lanjut kiayi.

“Bukan itu permasalahannya.”

“Lantas?”

“Kenapa daging kawan-kawanku dan mungkin juga aku bagian yang banyak hanya dinikmati oleh kiyai, ketua DKM, kepala desa, kepala dusun, pak RT, pak pertahanan sipil dan sesepuh kampung? Kenapa mereka yang didahulukan? Mereka itu orang yang berada. Mampu membeli tanpa dibagi. Mereka sering makan daging. Biarkanlah orang-orang miskin, anak-anak yatim, orang-orang jompo menikmati daging lebih banyak saetahun sekali. Mereka jarang-jarang makan daging.”

Kiayi itu merah mukanya. Kata-kata itu menohok mukanya. Ketua DKM tertunduk. Orang-orang yang mendengar itu berbisik-bisik.

“Sebelum kalian menyembelihku, sembelihlah napsumu! Sembelihlah hasratmu. Potonglah kerakusanmu! Sembelihlah keangkuhanmu. Penggaallah kesombonganmu. Potonglah keserakahanmu!”

"Kenapa kalian bengong? Sembelihlah aku! Sembelihlahlah aku! Aku ingin segera menghadap-Nya. Menyusul teman-temanku"

Semuanya diam.

"Baiklah kalau kalian tidak mau menyebelihku, biarlah aku yang akan menyembelih diriku sendiri, mencincang sendiri, dan biarlah aku membagikannya ke faqir miskin, anak yatim, orang-orang jompo. Aku tidak mau merepotkan kalian...."

Sukabumi, 2004

*penulis adalah koordinator kajian di PIRAMIDA circle Ciputat

Label: