<data:blog.pageTitle/>

This Page

has moved to a new address:

https://aslisunda.com

Sorry for the inconvenience…

Redirection provided by Blogger to WordPress Migration Service
Tampolong: Juli 2009

Senin, 27 Juli 2009

Tahlil

Membaca tahlilan; cerita kecil dari Cilulumpang
Oleh Abdullah Alawi*
Ki Santibi sila dengan sempurna. Matanya terpejam. Mukanya tertunduk. Tangannya menengadah. Bibirnya bergerak-gerak, melapal kalimat-kalimat yang hanya dia sendiri mendengarnya. Di hadapannya terdapat parukuyan (pedupaan) mengepulkan asap kemenyan menerobos langit-langit. Baunya memenuhi seantero ruangan. Dia sedang khusu berdo’a mengantar arwah mang Kusnadi yang meninggal dunia beberapa hari yang lalu. Setelah itu, dia mempersilakan kepada ajengan setempat untuk memimpin tahlilan diikuti seluruh yang hadir disitu. Itulah ritual tahlilan yang dilakukan penduduk di kampung Cilulumpang.
Seperti di daerah Sunda lainnya, penduduk kampung ini bertutur sapa dengan bahasa Sunda. Begitu pula dalam hal tradisi, tidak berbeda dengan masyarakat Sunda lainnya. Namun, ada beberaapa tradisi yang sudah punah dan ada yang tetap dirawat. Tradisi dongdangan, misalnya, sekarang sudah punah. Terakhir saya melihat tradisi ini ketika saya berusia enam tahun. Tapi ada juga tradisi yang masih tetap bertahan seperti layang syekh (manaqiban), yaitu membaca riwayat hidup syekh Abdul Qadir Jailani, marhabaan atau disebut juga mahinum, yaitu kenduri setelah 40 hari kelahiran seorang anak, dan tahlilan. Bagi kalangan anak-anak dan pemuda, ada istilah khusus menyebut tahlilan, yaitu ULBK (Usaha Leutik Bayaran Kontan), maksudnya usaha kecil yang dibayar tunai (dengan makanan).
Seperti di daerah lain, tahlilan dilakukan selama tujuh hari berturut-berturut setelah meninggal seseorang, kemudian keempat puluh hari (matang puluh), keseratus hari (natus) dan keseribu hari (nyewu).
Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengulas apakah tahlilan itu bid’ah atau tidak, karena itu hanya akan mengulang perdebatan yang tidak produktif. Apalagi merujuk teks-teks hadis atau qaul ulama. Bisa segerobak dalil dikumpulkan. Tapi saya ingin melihat bahwa tahlilan sebagai sesuatu yang sudah mendarah daging di kampung ini, dirawat, berevolusi, peran perempuan, dan bagaimana kemesraan antara agama (Islam) dengan kesundaan. Alhasil, tulisan ini hanyalah semacam cerita; seperti dalam tema tulisan ini, cerita kecil yang berasal dari kampung di sebuah kaki gunung Bongkok Sukabumi.
Kemesraan punduh dan ajengan
Di kampung Cilulumpang, setiap orang meninggal selalu ditahlilkan. Seolah ada yang kurang tanpa melakukan ritual itu. Bahkan sudah seperti kewajiban syariat. Dalam pelaksanaannya, ritual ini diawali dengan doa yang dilakukan punduh sambil membakar kemenyan. Punduh adalah seorang yang bertugas ngurebkeun (menguburkan) mayat yang berasal dari tradisi Sunda. Kemudian dilanjutkan oleh ajengan untuk memimpin tahlil. Ajengan adalah orang yang ahli dalam agama (Islam). Sama dengan kiai di daerah Jawa. Ajengan bertugas memimpin tahlil. Biasanya diawali pembacaan hadiyah, membaca qulhu (al-Ikhlas) 33 kali, falaq binnas (al-Falaq dan al-Nas), ayat kursi, akhir surat Ali-Imran, wa’fu ana waghfir lana 33 kali, ya arhama rahimin irhamna 33 kali, astaghfirullahaladim 33 kali, subhanallah wabihimdihi 33 kali, la ilaha illa Allah 33 kali, dan diakhiri doa.
Dalam setiap tahlilan kedua orang ini dipastikan selalu hadir secara bersamaan, bahkan duduk berdampingan tanpa saling menegasikan. Keduanya punya tempat dan peran tersendiri. Berdoa dengan bahasa berbeda, dengan cara berbeda, tetapi tujuannya sama: mendoakan mayat. Mereka tidak merasa paling utama.
Setelah ritual tahlilan, biasanya yang hadir diberi makanan. Ada sedikit pergeseran dalam penyajian makanan. Pada tahun 85-an makanan disajikan di atas piring. Biasanya makanan yang dihidangkan adalah nasi dengan lauk daging atau telur, bihun, buncis dan kentang. Sedangkan ada makanan khas kampung yang disajikan dalam nyiru (tampah). Isinya biasanya rengginang, renggening, dapros, peuyeum, cuhcur, ali, dll. Lalu pada tahun 95-an penyajiannya dibungkus dalam kertas nasi. Isinya masih tetap seperti semula. Pada tahun 2000-an makanan disajikan hanya dua buah mie, dan satu butir telur.
Sehabis tahlilan, ada yang langsung pulang, ada yang masih duduk santai dengan suasana keakraban. Mereka bisa ngobrol ngalor-ngidul, berbicara tentang apa saja. Mulai dari cerita kebaikan almarhum, masalah irigasi, hama tanaman, sepak bola, gosip artis, hingga politik. Gelak-tawa segar kadang muncul ketika ada yang lucu. Antara ajengan, punduh dan masyarakat biasa bisa duduk bersama. Tanpa ada yang didaulat menjadi narasumber seperti di seminar atau dalam proses perkuliahan. Semua bisa ngobrol lepas tanpa ada dominasi. Suasana ini jelas bisa menghibur keluarga yang ditinggalkan dan sebagai perekat sosial antartetangga. Selain itu, kadang rencana-rencana, konvensi, bisa dilakukan, misalnya kerja bakti membersihkan jalan, membetulkan irigasi, merehab mesjid bahkan gotong-royong membantu tetangga yang terkena musibah. Arus globalisasi yang menggurita kemana-mana yang mendorong orang ke arah individualis, sejenak dilawan dalam suasana itu.
Absennya perempuan?
Hampir setiap tahlilan, saya belum pernah melihat keikutsertaan perempuan menyatu dengan laki-laki. Apalagi perempuan sebagai pemimin tahlilan. Sebenarnya tidak ada larangan secara khusus. Mungkin sudah menjadi kebiasaan saja. Tapi bukan berarti perempuan tidak berperan sama sekali. Bahkan perannya sangat vital. Ibu-ibu tetangga sigap membantu membikin penganan, mengirim beras bagi keluarga yang meninggal. Bahkan yang mendesain evolusi tahlilan dalam urusan makanan adalah perempuan. Mereka memang ada di ruang belakang, tidak populer, tapi apakah dengan demikian kita mesti mengatakan mereka terbelakang atau tertindas?
Terus dirawat
Saya pernah ngobrol dengan beberapa anak muda. Ketika saya bertanya tentang masalah tahlilan, ada salah seorang yang mengatakan bahwa tahlilan itu begitu memberatkan bagi keluarga yang sedang bela sungkawa. Ketika saya tanya kenapa, dia menjawab bahwa tahlilan itu biayanya mahal. Saya paham atas alasannya. Jelas alasannya bukan berangkat dari teks apa pun yang mengatakan itu bid’ah, karena pemuda tersebut tidak pernah belajar di sekolah modern, bukan lulusan fakultas ushuluddin UIN (dulu IAIN) atau di pesantren modern. Tapi berangkat dari kenyataan yang ia saksikan. Saya menyimpan dalam hati keluhan anak muda tersebut.
Suatu ketika, kang Dadang meninggal. Orang yang asalnya lumayan kaya ini jatuh miskin karena usahanya bangkrut total. Hampir saja keluarganya tidak melakukan tahlilan. Untung saja ajengan setempat cepat tanggap. Sehabis shalat maghrib, tidak membaca wiridan, tapi langsung tahlilan untuk kang Dadang.
Dari cerita ini, betapa arifnya sang ajengan membaca situasi. Dia tak memaksakan diri ajaran yang dianutnya untuk dilaksanakan. Lentur dalam menghadapi kenyataan. Tidak kaku dalam merawat tradisi yang turun-temurun. Seandainya hal itu yang dilakukan, tidak mustahil akan terjadi resistensi dari masyarkat.
Sejak itu, bagi keluarga yang mampu, tahlilan dilaksanakan di rumah. Tapi bagi yang tidak mampu, dilaksanakan di masjid tanpa makanan.

Sukabumi, 24 Januari 2009
*penulis adalah mahasiswa Tafsir Hadis multisemester, bergiat di FS. Piramida Circle

Isi paragraf sembunyi

Label:

Selasa, 21 Juli 2009

Kosan Free


Kosanku di Sedap Malam tak bisa dipertahankan karena ibu kos tetap pada pendiriannya: meminta tahunan. Tentu saja permintaannya tak bisa dipenuhi karena jangankan tahunan, per bulan pun tersndat-sendat. Sebenarnya kosan ini terbilang murah dibanding kosan lain. Hanya 4 juta per tahun dengan kosan tiga ruangan dan kamar mandi di dalam. Dan tersedia dapur. Tapi untuk ukuranku dan dengan seorang teman, terbilang berat. Ya sudahlah, aku dan temanku mesti pidah; hijrah…
Berhari-hari kami mencari kosan dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa kosan ditemukan. Beberapa ada yang cocok dengan suasananya, tapi tak cocok harganya. Ada yang cocok harganya, tapi susananya tak cocok.
Kami terus menncari. Bertanya ke teman-teman. Memasuki gang-gang kecil. Ketika melewati gang kampung utan, kami melihat seorang teman. Langsung saja mampir. Ternyata dia pelayan counter HP. Kami pun bertegur sapa dan bertanya kabar masing-masing. Pada akhirnya kami membicarakan kosan.
Oh, di belakang banyak kosan kosong,” katanya sambil menunjuk ke bangunan dua lantai yang berderet ruangan-ruangan yang menyampingi jalan.

“Oh ya?”
“Iya.”
“Dimana bu kos-nya?
“Tuh, yang paling pojok.”
Kami pun diantar menemui bu kos. Ternyata dia tak kemana-mana.
Kami pun membicarakan maksud kami menemuinya. Langsung saja dia melihat dia mengajak melihat-lihat ruangan berukuran 7 meter kali 5 meter. Sementara di salah satu pojok ruangan kamar mandi 2 meter kali 1 meter.
Di atas ada yang kosong?” kata temanku.
Ada.”
Ukurannya sama?
Sama.”
Mau lihat?
Iya.”
Kami pun menaiki tangga.
Ada dua kamar yang kosong katanya sambil membuka kunci salah satu ruangan. Daun pintu kamar ini penuh dengan pamphlet dan poster yang menempel. Di kanan atas ada pamphlet dengan warna dasar hitam. Di bagian atas ada tulisan berwarna kuning, “Golkar Hancur, Rakyatan Makmur”. Di bawahnya ada tulisan “Satu rasa, Satu Jiwa, Satu Kata, Satu Satu Cinta. Di bawahnya ada pamphlet, “Stop Perdgangan Anak. Di bawahnya lagi ada pamphlet berbunyi, Yang Bukan ANak Musik Dilarang Mausk” sementara di tengan daun pintu ada pamphlet yang paling besar sehingga memenuhi hamper separuh daun pintu. Dia sepertinga raja pamphlet di pintu ini. Raja pamphlet itu berwarna dasar hitam dengan gambar telaak kaki berwana hitam. Posisi tumit di bawah dan jari-jari kaki di atas. Di bu jari tergantung bandrol dengan tulisan: Nama Yosep. Umur: 18 Tahun.
“Namamu kok ada disitu?” kata temanku.
“Iya. Tapi lihat tulisan di atasnya,”Narkoba, Berani Coba, Hilang Nyawa,” jawabku.
“Silakan lihat-lihat!” kata bu kos.
Kami pun masuk meneliti ruangan, melihat kamar mandi dan membuka kran air. Setelah dicek dan ternyata bagus, aku kembali meneliti ruangan, memperhatikan dinding. Ketika melihat saklar, sku mencobanya, lampu menyala. Di salah satu dinding aku melihat poster bergambar bangunan tua berwarna kuning kusam. Di bawahnya ada tulisan Saudi Arabian Airlines. Di bawah poster itu ada lapadz Allah dengan huruf Arab. Sementara di bawahnya ada angka 14 dengan huruf latin. Aku langsung termenung melihat tulisan itu. Apa hubungannya? Atau tak sama sekali tak ada hubungannya? Barangkali penghuni kos sebelumnya menulis lapal Allah di satu waktu. Kemudian dia menulis sebuah rencana, entah rencana apa di tanggal 14. Untuk keberhasilan rencana itu, dia menuliskannya di bawah lapal ALLAh. Atau barangkali angka 14 adalah hari ualang tahunnya sendiri, atau pacarnya, atau setidaknya orang dekatnya. Atau mungkin tanggal 14 itu hari keberuntungannya. Atau mungkin tanggal 14 itu hari yang sial atau kenangan menyakitkan sehingga dia menuliskannya. Atau 14 itu tak berarti apa-apa. Dia cuma iseng menulisnya. Dan atau-atau lain yang aku tidak tahu.
Kini sudah genap dua bulan aku tinggal di kosan ini. Lapadz Allah dan angka 14 itu selalu membuatku bertanya dan berkhayal….
Kp Utan 16 Juli 2009

Label:

Rabu, 15 Juli 2009

I'm Missing You

Sangat menggelikan saat mengingat kalimat tersebut. Sebuah ungkapan dalam bahasa inggris yang kurang lebih artinya aku merindukan mu. Sebuah ungkapan yang biasanya diucapka seseorang terhadap pasangannya. Tapi lucunya terkadang itu hanya sebuah ungkapan untuk menutupi perasaan sesungguhnya, tapi terkadang memang seperti itu kenyataannya. Sebuah kejadian yang kualami seputar ungkapan I’m missing you, sepertinya patut untuk dierbincangkan, he…. ^_^ . 


Sore itu, aku agak lupa hari dan tanggalnya. Kira-kira jam 5 sore, selesai aku menelpon pacarku aku merasa jenuh. Iseng ku ubah Tema di ponselku, ketka aku menekan menu terpampang diatas layar Ponselku sebuah ungkapan, I’m Missing you. Tanpa berfikir panjang aku langsung masuk di pesan dan membuat pesan baru. Lalu aku pun menulis kalmat tersebut. Selesai diketik aku bingung mau mengirim sama siapa? Sama pacar? Ah baru saja aku menelpon dia. Iseng ku buka kontak yang ada di ponselku, kemudian setiap cewek yang nomornya ada disitu aku kirimi kalimat tersebut. Wush…… pesan terkirim. Entah keberapa orang aku mengirim kalimat tersebut. Yang jelas baru saja aku buka balasan dari seorang, belum sempat aku baca sudah bermunculan jawaban dari beberapa orang lain yang aku kirimi kalimat itu. 


Ada yang bilang “ah masa?” ada juga yang bilang “sama siapa? “ ada juga yang jawab apa maksudnya? Bahkan ada yang membalas dengan kalimat yang kurang enak didengar, seperti “maksudlo?” banyak juga yang respect, mungkin karna mereka sedikit suka sama aku, atau mungkin sangat suka, he….
Tapi bukan itu yang menggelikan, justru karna sebuah kata yang terdapat ditengah-tengah kalimat. Yaitu Missing. Sangat berbahaya apabila dijadikan sebuah senjata untuk menghancurkan, juga bisa dijadikan obat yang sangat mujarab. Makanya ada sebuah istilah “lidah itu lebih tajam dari pedang”. Pedang bisa dipakai membunuh orang, tapi lidah juga bisa dipakai ngupas kelapa muda tatkala kita kehausan. Begitupun dengan lidah. Namun apabila digali lebih dalam yang lebih bahaya itu bukan kata-kata atau pedangnya, melainkan siapa pemilik pedang dan siapa yang mengeluarkan kata-katanya. 


Pedang bisa berbahaya apabila dipegang sama rampok atau pembunuh, tapi kalau dipegang sama tukang jagal ya dipakai membunuh juga. Tapi yang dibunuh adalah hewan untuk dimakan. Begitupun dengan perkataan, apabila yang mengeluarkan para alim ulama maka hukumlah yang akan keluar, tapi apabila di ibu-ibu tukang gosip ya yang keluar pasti gosip terhangat. (tidak bermaksud menyinggung ibu-ibu BiGos)
Jadi, sekuat dan setajam apapun pedang tidak akan lebih tajam dari lisan. Makanya jagalah selalu lisan kita.

Tamba gado ngaburayot, itung-itung ngupdate artikel dina blog we. He….
Kampung utan, 14 Juli 2009

Label: